Selasa, 27 September 2011

Mengajarkan Disiplin Tanpa Teriakan – Mungkinkah?


“Hidup tiada mungkin tanpa perjuangan tanpa pengorbanan mulia adanya
Berpeganglah tangan satu dalam cita demi masa depan Indonesia Jaya.”
Rangkaian kata-kata di atas merupakan bagian dari lirik lagu berjudul “Indonesia Jaya”, yang biasa saya gunakan untuk memotivasi siswa belajar dan bekerja lebih giat demi mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Ya, anak-anak sekarang memang banyak yang lebih memilih JALAN PINTAS ketimbang mencapai sesuatu melalui proses yang benar (dengan konsekuensi lebih ruwet, lebih berat, lebih menderita!). Tidak percaya? Cobalah amati anak-anak kita ketika dihadapkan pada suatu persoalan. Mereka lebih cepat menjawab dengan kata-kata “TIDAK BISA”, “TIDAK SANGGUP”, “BERAT”, atau semacamnya.
Jawaban-jawaban dengan nada seperti disebutkan di atas itu menunjukkan bahwa mereka “enggan” mengikuti proses yang benar. Ini berbahaya jika dibiarkan menjadi kebiasaan, yang pada gilirannya akan mewarnai atau bahkan membentuk watak mereka.
Kepada mereka perlu diajarkan bahwa hidup itu bukan sekadar apa yang diinginkan harus terwujud. Mereka perlu tahu bahwa untuk mencapai sesuatu harus ada upaya yang dilakukan. BUKAN GRATIS! Intinya, harus ada pertukaran antara apa yang diinginkan dengan apa yang dilakukan untuk mencapai keinginan itu.
Misalnya, untuk mendapatkan nilai baik di sekolah pertukaran yang harus dilakukan adalah belajar giat dan tekun — bukan nyontek pekerjaan teman! Begitu pula untuk capaian-capaian lainnya. Jadi, untuk mendapatkan keberhasilan seseorang harus melakukan sesuatu secara benar sehingga tidak merugikan pihak lain secara tidak wajar.
Apa hubungannya dengan pengajaran disiplin? Di mata sebagian masyarakat, disiplin itu identik dengan sesuatu yang “berat”, “monoton”, “membosankan” dan semacamnya sehingga orang cenderung tidak mematuhinya. Mereka lebih memilih yang asyik-asyik saja, bukan yang sulit.
Padahal, dari disiplin itulah manusia akan menjadi pribadi yang bisa mencapai keberhasilan secara benar — integritas, karakter — dan, terhormat. Sebab itu, disiplin harus diajarkan dan dilatihkan sehingga menjadi pengalaman yang mempribadi kepada siswa.
Tentu saja, karena pengajaran disiplin ini berada dalam ranah pendidikan, maka pelaksanaannya pun harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan. Artinya, dalam pengajaran disiplin itu sebisa mungkin dihindari pemberian sanksi berupa “hukuman” (fisik maupun psikis) bagi siswa yang melanggarar. Lebih penting adalah bagaimana para guru menjadikan nilai-nilai kedisiplinan itu sebagai milik siswa, sehingga mereka merasa butuh untuk melaksanakannya.
Apabila cara yang dilakukan guru dalam mengajarkan disiplin bisa dilakukan seperti yang disebutkan terakhir di atas, maka pengajaran disiplin tanpa teriakan adalah mungkin! Bisa dilakukan! Kuncinya ada pada guru.
Ketulusan, rasa syukur menjadi orang yang berkesempatan mewarnai kehidupan anak-anak, harapan yang tinggi untuk keberhasilan siswa di masa depan adalah ramuan yang menguatkan niat para guru untuk berbuat terbaik demi siswa.
Ya, demi siswa. Bukan demi ego guru. Sebab itu guru tidak perlu melakukan “kekerasan” kepada siswa dengan memberikan hukuman bagi pelanggaran disiplin di sekolah. Sanksi boleh, tetapi hukuman jangan!
Sumber: gurusukses.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar